Politik
internasional merupakan sebuah diskursus komperehensif mengandung unsur yang
beragam, salah satunya kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri adalah
serangkaian kebijakan yang ditempuh oleh suatu negara dalam berusuan dengan
negara lain untuk mencapai tujuan nasional. kebijakan-kebijakan ini bisa
dianalisis menggunakan pendekatan-pendekatan teoretis politik internasional.
Hasil dari analisis ini akan digunakan untuk menjelaskan mengapa suatu
kebijakan ditempuh, untuk apa kebijakan tersebut dijalankan , dan bagaimana
kebijakan tersebut bekerja.
Analisis
kebijakan luar negeri setidaknya masih didominasi oleh tigavarian teori, yakni
realism, liberalism, dan kontruktivisme. Realisme menjadi salah satu teori
utama yang menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri diambil sebagai reaksi
dari sistem internasional yang anarki. Prinsip utama yang hadir di antaranya
ialah negara akan dipersepsikan sebagai sebuah kelompok dengan solidaritas
tinggi yang sangat memungkinkan akan memiliki konflik dengan kelompok
lain—groupisme (Wohlforth, 2001). Tidak adanya aturan dan garansi bahwa
perdamaian akan tercipta dari sistem ini menyebabkan masing-masing negara
berusaha untuk mencapai kekuasannya masing-masing dan sangat egois untuk
mempertahankan kekuasaannya tersebut (Wohlforth, 2001). Akibatnya, dua perilaku
akan ditimbulkan, yakni apakah suatu negara memilih kebijakan yang defensive
dengan tujuan mengamankan dirinya atau setidaknya memberikan sinyal ia memiliki
niatan perdamaian atau kebijakan offensive yang memilih untuk menaikkan
kapabilitas karena ketidakpercayaan negara lain akan serius untuk berdamai.
Sehingga dinamika dalam sistem internasional yang terjadi ialah terjadinya
balance-threat, perlakuan hegemoni, dan transisi kekuasaan dalam politik
internasional.
Sebaliknya,
meskipun benar bahwa sistem internasional anarki, liberalisme percaya bahwa
semestinya kondisi alamiah yang terjadi tidaklah demikian (Doyle, 2008). Moral
kebebesan—laissez faire dan kesejahteraan sosial—yang menjadi fondasi utama
teori liberalisme menghasilkan sebuah kebijakan luar negeri yang demokratis.
Demokratisme ini muncul sebagai kebutuhan dari pemerintah sebab kondisi
domestik negara liberal memiliki mekanisme sedemikian rupa untuk menjaga opini
publik yang demokratis tersampaikan kepada pemerintah. Kebijakan luar negeri
yang tercipta dalam liberalisme pun didominasi oleh pandangan perdamaian dan
mengusahakan perdamaian.
Karakteristik
pola interaksi dalam liberalism dijelaskan oleh tiga pandangan utama (Doyle,
2008), yakni Lockean yang memandang bahwa warga negara pada dasarnya adalah
aktor rasional mandiri yang sangat menghargai hak orang lain; komersialis yang
mengacu pada pandangan bahwa individu sangat materialistis sehingga perkawinan
antara kapitalisme dan demokrasi mayoritas mampu melayani sifat kompetisi
mereka yang berakibat pada pasifisme (suka perdamaian); dan tiga syarat kondisi
damai oleh Kant, yaitu: 1) perwakilan repulik yang bertanggung jawab kepada
warga negara, 2) komitmen perdamaian yang berdasarkan pada pernghargaan
terhadap hak-hak individu lain. dan 3) kemungkinan interdependensi
sosial-ekonomi.
Pandangan
lain kemudian hadir dari kontruktivisme yang tidak berfokus kepada sebuah
sistem dan negara, tetapi bagaimana memandang negara sebagai seseorang yang
dibentuk dalam masyarakat internasional (Wendt, 1999 dalam ). Negara memiliki
keinginan, kepercayaan, dan intensionalitas yang tidak dapat direduksi. Oleh Wendt (1999 dalam Kubalkova, 2001) negara
harus dilihat sebagai aktor yang sengaja
memiliki kepentingan nasional—kelangsungan hidup fisik, otonomi, kesejahteraan
ekonomi, dan harga diri kolektif—yang berelasi terhadap sistem
internasional. Negara membentuk
"identitas dan kepentingan mereka dengan berinteraksi satu sama lain"
(Wendt 1999 dalam Kubalkova 2001) dan bukan hasil dari perdebatan antara aktor
domestik atau bahkan proses politik dalam negeri (Kubalkova, 2001).
Dari
serangkaian penjelasan teoretis tersebut, dalam melakukan analisis kebijakan
luar negeri penting bagi para sarjana untuk melakukan tingkatan analisis.
Tingkatan analisis ini setidaknya dibagi menjadi tiga, yakni analisis sistem
internasional, negara sebagai aktor, dan identitas yang dibentuk dalam relasi
negara dalam sistem internasional itu sendiri. Tingkatan analisis ini
setidaknya dibutuhkan untuk: 1) mencapai akurasi deskripsi fenomena yang
dianalisis; 2) mencapai kapabilitas eksplanasi yang parsimonious; dan 3) mampu
memberikan prediksi andal dari suatu fenomena yang dianalisis (Singer, 1961).
Daftar Pustaka
Doyle, W. M., 2008. Liberalism and Foreign Policy. In: S. Smith A. H.. T. Dunne, eds.
Foreign Policy: Theories, Actors, Cases. Oxford: Oxford University Press, pp.
54-77.
Kubalkova, V., 2001. Foreign Policy in a Constructed World. 1st ed. New York: Routledge.
Singer, D., 1961. The Level-of-Analysis Problem in International Relations. JSTOR,
14(1), pp. 77-92.
Wohlforth, C. W., 2008. Realism and Foreign Policy. In: S. Smith & A. H. T.
Dunne, eds. Foreign Policy: Theories, Actors, Cases. Oxford: Oxford University
Press, pp. 35-50.