✅Level Analisis Individu Dalam Perbandingan Politik Luar Negeri - Seribu Ilmu
News Update
Loading...

Monday, February 10, 2020

Level Analisis Individu Dalam Perbandingan Politik Luar Negeri




Pada awalnya sarjana realis melihat politik luar negeri bukanlah sesuatu yang dihasilkan dari ideosinkretik—mode perilaku atau cara berpikir yang khas bagi seorang individu—melainkan dari pilihan rasional (Neack, 2008). Sebab apabila pemimpin negara  berfokus pada motif dan preferensi ideologis, mereka tidak akan mampu menempuh perilaku yang selaras dengan kepentingan nasional. Sehinggaproponen seperti Bruce Russett, Harvey Starr, and David Kinsella mengartikulasikan politik luar negeri sebagai “panduan untuk tindakan/perilaku yang diambil di luar batas negara untuk mencapai tujuan nasional”. Namun, Charles Herman menyebut konsep politik luar negeri tersebut sebagai konsep yang terabaikan (Neack, 2008). Ia memberikan definisi tandingan bahwa sejatinya politik luar negeri adalah “tindakan sengaja yang terpisah dan dihasilkan dari keputusan tingkat politik individu atau kelompok individu” atau dengan kata lain merupakan perilaku dari negara itu sendiri (Neack, 2008).
Pada tahun 1954 dan 1963, Richard Snyder, H. W. Bruck, dan Burton Sapin memberikan pilihan metodologis dasar untuk mendefinisikan negara sebagai pembuat keputusan resminya—mereka yang tindakan otoritatifnya memiliki maksud tujuan tindakan negara (Neack, 2008). Sederhananya tindakan negara adalah tindakan yang diambil oleh mereka yang bertindak atas nama negara dan sangat memungkinkan memiliki perilaku yang berbeda-beda. Dengan kata lain bahwa pemimpin negara akan selalu memiliki dampak dari apayang mereka lakukan (Breuning, 2007). 
Berangkat dari perdebatan ini, para sarjana menyarankan perlunya kebijakan luar negeri dianalisis dari berbagai sumber, termasuk biografi dari masing-masing pembuat keputusan serta kerangka kerja organisasi di mana keputusan tersebut dibuat (Neack, 2008). Secara umum, tujuan analisis ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana para pemimpin melihat dunia, apa yang memotivasi mereka, dan bagaimana mereka membuat keputusan (Breuning, 2007).
Selanjutnya, ada tiga unit pendekatan dasar analisis tingkat individu yang dikembangkan Hermann dan Hermann (dalam Neack, 2008), yakni: a) pemimpin tunggal, dominan, yaitu individu yang memiliki kekuatan untuk membuat pilihan dan melumpuhkan oposisi; b) kelompok tunggal, yaitu seperangkat individu yang secara kolektif memilih tindakan dalam interaksi tatap muka; dan c) kelompok yang terdiri dari beberapa unit otonom.
Untuk memahami bagaimana seorang pemimpin membuat suatu keputusan setidaknya kita harus memahami beberapa hal. Pertama, psikologi politik pemimpin negara. Hal ini tentu berkaitan dengan kepribadian mereka yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam dua cara: a) persepsi para pemimpin tentang peristiwa-peristiwa tertentu dan dunia secara umum yang dapat memprediksi tindakan dan reaksi—ini dibentuk dari kepercayaan, persepsi, dan kognisi; b) cara mereka mengorganisasi staf tempat pemimpin mengandalkan  informasi dan saran (Breuning, 2007).  Selain itu faktor-faktor seperti orientasi konflik, ketidakpercayaan, kebutuhan akan kekuasaan, dan orientasi tugas memengaruhi tipe keputusan: a) apakah keputusan membantu atau menghambat kepentingan nasional; dan b) apakah suatu keputusan memiliki dampak eskalasi atau de-eskalasi konflik (Walker dkk, 2011).
Selain itu, kualitas pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh hal-hal seperti keterbukaan pemimpin terhadap informasi, orientasi kontrol, tingkat kepercayaan, orientasi tugas, dan lain-lain (Walker dkk, 2011). Terkadang mereka memerlukan satu kelompok penasihat sebagai sebuah think tank, di mana penasihat atas menggunakan informasi yang tersedia untuk bersama-sama membuat representasi dari masalah kebijakan luar negeri, menentukan kepentingannya di antara masalah kebijakan luar negeri lainnya, dan memperdebatkan cara terbaik untuk meresponsnya (Breuning, 2007). Atau memiliki kelompok dengan tipe komando, di mana kelompok tersebut bersama-sama menentukan tindakan kebijakan luar negeri. Dalam peran ini, kelompok tersebut membangun peran lembaga think tank untuk mengembangkan opsi, mengevaluasi mereka, memilih yang paling yang tepat, dan akhirnya membuat keputusan (Breuning, 2007).
Ketiga kita harus memahami bahwa setiap sistem memiliki jebakannya sendiri. Pemimpin memang berfungsi baik jika sistem organisasi pengambilan keputusan sesuai dengan kepribadian mereka. Namun,bagaimanapun  model proses organisasi memandang pemerintah sebagai kumpulan organisasi, terkoordinasi secara terpusat di puncak (Naeck, 2008). Masing-masing memiliki spesialisasi dan keahlian, tetapi diringi dengan prioritas dan persepsi mereka sendiri (Breuning, 2007). Kekhasan inilah yang membentuk setiap organisasi memiliki cara adat sendiri atau prosedur operasi standar. Oleh karenanya setiap pemimpin pasti memiliki gaya pendekatan tersendiri terhadap  entah formalistik, kompetitif, atau kolegial.
Terakhir, model politik birokrasi menekankan bahwa persepsi dan prioritas penasihat dibentuk oleh organisasi yang mempekerjakan mereka dan juga ambisi dan kepentingan pribadi mereka (Breuning, 2007). Perundingan menjadi proses pengambilan keputusan yang melibatkan memberi dan menerima. Preferensi pembuat kebijakan tidak pernah sepenuhnya membentuk keputusan, tetapi seringkali secara parsial. Akibatnya, pilihan kebijakan menjadi hasil akhir dari tawar-menawar yang kompleks di berbagai tingkatan (Breuning, 2007).

Daftar Pustaka
Breuning, M. (2007). Foreign policy analysis: A comparative introduction. Springer.
Neack, L. (2008). The new foreign policy: power seeking in a globalized era. Rowman & Littlefield Publishers.
Walker, S. G., Malici, A., & Schafer, M. (2011). SMALL GROUP DYNAMICS: The Psychological Characteristics of Leaders and the Quality of Group Decision Making. In Rethinking Foreign Policy Analysis (pp. 126-143). Routledge.



Share with your friends

Add your opinion
Disqus comments
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done