Pada
awalnya sarjana realis melihat politik luar negeri bukanlah sesuatu yang
dihasilkan dari ideosinkretik—mode perilaku atau cara berpikir yang khas bagi
seorang individu—melainkan dari pilihan rasional (Neack, 2008). Sebab apabila
pemimpin negara berfokus pada motif dan
preferensi ideologis, mereka tidak akan mampu menempuh perilaku yang selaras
dengan kepentingan nasional. Sehinggaproponen seperti Bruce Russett, Harvey
Starr, and David Kinsella mengartikulasikan politik luar negeri sebagai
“panduan untuk tindakan/perilaku yang diambil di luar batas negara untuk
mencapai tujuan nasional”. Namun, Charles Herman menyebut konsep politik luar
negeri tersebut sebagai konsep yang
terabaikan (Neack, 2008). Ia memberikan definisi tandingan bahwa sejatinya
politik luar negeri adalah “tindakan sengaja yang terpisah dan dihasilkan dari
keputusan tingkat politik individu atau kelompok individu” atau dengan kata
lain merupakan perilaku dari negara itu sendiri (Neack, 2008).
Pada
tahun 1954 dan 1963, Richard Snyder, H. W. Bruck, dan Burton Sapin memberikan pilihan
metodologis dasar untuk mendefinisikan negara sebagai pembuat keputusan
resminya—mereka yang tindakan otoritatifnya memiliki maksud tujuan tindakan
negara (Neack, 2008). Sederhananya tindakan negara adalah tindakan yang diambil
oleh mereka yang bertindak atas nama negara dan sangat memungkinkan memiliki
perilaku yang berbeda-beda. Dengan kata lain bahwa pemimpin negara akan selalu memiliki
dampak dari apayang mereka lakukan (Breuning, 2007).
Berangkat
dari perdebatan ini, para sarjana menyarankan perlunya kebijakan luar negeri
dianalisis dari berbagai sumber, termasuk biografi dari masing-masing pembuat
keputusan serta kerangka kerja organisasi di mana keputusan tersebut dibuat (Neack,
2008). Secara umum, tujuan analisis ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana para pemimpin melihat dunia, apa yang memotivasi
mereka, dan bagaimana mereka membuat keputusan (Breuning, 2007).
Selanjutnya,
ada tiga unit pendekatan dasar analisis tingkat individu yang dikembangkan
Hermann dan Hermann (dalam Neack, 2008), yakni: a) pemimpin tunggal, dominan,
yaitu individu yang memiliki kekuatan untuk membuat pilihan dan melumpuhkan
oposisi; b) kelompok tunggal, yaitu seperangkat individu yang secara kolektif
memilih tindakan dalam interaksi tatap muka; dan c) kelompok yang terdiri dari
beberapa unit otonom.
Untuk
memahami bagaimana seorang pemimpin membuat suatu keputusan setidaknya kita
harus memahami beberapa hal. Pertama, psikologi politik pemimpin negara. Hal
ini tentu berkaitan dengan kepribadian mereka yang memengaruhi pengambilan
keputusan dalam dua cara: a) persepsi para pemimpin tentang peristiwa-peristiwa
tertentu dan dunia secara umum yang dapat memprediksi tindakan dan reaksi—ini
dibentuk dari kepercayaan, persepsi, dan kognisi; b) cara mereka mengorganisasi
staf tempat pemimpin mengandalkan
informasi dan saran (Breuning, 2007). Selain itu faktor-faktor seperti orientasi
konflik, ketidakpercayaan, kebutuhan akan kekuasaan, dan orientasi tugas
memengaruhi tipe keputusan: a) apakah keputusan membantu atau menghambat
kepentingan nasional; dan b) apakah suatu keputusan memiliki dampak eskalasi
atau de-eskalasi konflik (Walker dkk, 2011).
Selain
itu, kualitas pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan dapat dipengaruhi
oleh hal-hal seperti keterbukaan pemimpin terhadap informasi, orientasi
kontrol, tingkat kepercayaan, orientasi tugas, dan lain-lain (Walker dkk, 2011).
Terkadang mereka memerlukan satu kelompok penasihat sebagai sebuah think tank, di mana penasihat atas menggunakan
informasi yang tersedia untuk bersama-sama membuat representasi dari masalah
kebijakan luar negeri, menentukan kepentingannya di antara masalah kebijakan
luar negeri lainnya, dan memperdebatkan cara terbaik untuk meresponsnya (Breuning,
2007). Atau memiliki kelompok dengan tipe komando, di mana kelompok tersebut
bersama-sama menentukan tindakan kebijakan luar negeri. Dalam peran ini,
kelompok tersebut membangun peran lembaga think
tank untuk mengembangkan opsi, mengevaluasi mereka, memilih yang paling
yang tepat, dan akhirnya membuat keputusan (Breuning, 2007).
Ketiga
kita harus memahami bahwa setiap sistem
memiliki jebakannya sendiri. Pemimpin memang berfungsi baik jika sistem
organisasi pengambilan keputusan sesuai dengan kepribadian mereka. Namun,bagaimanapun
model proses organisasi memandang
pemerintah sebagai kumpulan organisasi, terkoordinasi secara terpusat di puncak
(Naeck, 2008). Masing-masing memiliki spesialisasi dan keahlian, tetapi diringi
dengan prioritas dan persepsi mereka sendiri (Breuning, 2007). Kekhasan inilah
yang membentuk setiap organisasi memiliki cara adat sendiri atau prosedur
operasi standar. Oleh karenanya setiap pemimpin pasti memiliki gaya pendekatan
tersendiri terhadap entah formalistik, kompetitif, atau kolegial.
Terakhir,
model politik birokrasi menekankan bahwa persepsi dan prioritas penasihat
dibentuk oleh organisasi yang mempekerjakan mereka dan juga ambisi dan
kepentingan pribadi mereka (Breuning, 2007). Perundingan menjadi proses
pengambilan keputusan yang melibatkan memberi dan menerima. Preferensi pembuat
kebijakan tidak pernah sepenuhnya membentuk keputusan, tetapi seringkali secara
parsial. Akibatnya, pilihan kebijakan menjadi hasil akhir dari tawar-menawar
yang kompleks di berbagai tingkatan (Breuning, 2007).
Daftar Pustaka
Breuning,
M. (2007). Foreign policy analysis: A comparative introduction.
Springer.
Neack, L. (2008). The
new foreign policy: power seeking in a globalized era. Rowman &
Littlefield Publishers.
Walker,
S. G., Malici, A., & Schafer, M. (2011). SMALL GROUP DYNAMICS: The
Psychological Characteristics of Leaders and the Quality of Group Decision
Making. In Rethinking Foreign Policy Analysis (pp. 126-143).
Routledge.