✅Israel-Palestine Conflict: 1948-2000 - Seribu Ilmu
News Update
Loading...

Monday, March 16, 2020

Israel-Palestine Conflict: 1948-2000


Israel-Palestine Conflict: 1948-2000
Luna Khoirunissa



Konflik antara Israel dan Palestina dapat dijuluki sebagai ‘a long-lasting conflict’. Konflik ini bermula pada tahun 1948 ketika Israel memproklamasikan kemerdekaannya. Permusuhan antara Israel dan Palestina berakar pada perebutan daerah teritorial yang mana merupakan ‘okupansi’ halus melalui mandat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Konflik ini tidak hanya tentang kedua negara yang saling berperang saja, namun juga negara-negara pendukung yang ada di belakang masing-masing kubu. Berbagai faktor seperti kepentingan dan identitas turut melatarbelakangi langgengnya konflik ini. Paper ini membahas konflik Israel-Palestina yang mencakup tiga kunci penting dalam memahami konflik ini: latar belakang konflik; solusi damai antara kedua negara; dan kesepakatan pengakuan atau deal confury yang pernah diusahakan oleh kedua pihak yang berselisih, dengan jangka waktu mulai tahun 1948 hingga 2000.
            Deklarasi Balfour pada tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris merupakan titik awal dari konflik legendaris ini. Deklarasi Balfour dituliskan pada sebuah surat berisikan dukungan terhadap pendirian ‘rumah’ bagi kaum Yahudi di Palestina yang dikirimkan oleh Arthur James Balfour selaku menteri luar negeri Britania Raya pada saat itu kepada Lionel Rothschild.[1] Dengan adanya surat ini, Inggris mendukung kaum Zionis untuk mendirikan sebuah negara yang terdiri atas kaum Yahudi di tanah Palestina.
            Seperti yang telah disebutkan pada awal esai, konflik ini sarat akan berbagai kepentingan. Dengan mendukung adanya pembentukan negara Zionis, Inggris akan mendapat beberapa keuntungan. Dengan dukungan yang diberikan Inggris terhadap permintaan kaum Zionis untuk mendirikan sebuah negara, Inggris  mengharapkan dukungan dari kaum Yahudi akan mengalir, khususnya dari negara dengan populasi Yahudi yang cukup banyak seperti Amerika Serikat. Inggris berharap Amerika Serikat dapat menyokong Sekutu (Inggris dan aliansinya) dalam Perang Dunia I menghadapi Central Powers (Jerman dan sekurunya).[2] Selain itu bila negara Zionis terbentuk di tanah Palestina, hal ini akan memudahkan Inggris untuk melindungi kepentingannya di Teluk Suez yang berada di Mesir. Hal ini bertujuan untuk memudahkan Inggris untuk melakukan kontrol dan komunikasi terhadap koloninya di India lewat Mesir.
            Tujuan Deklarasi Balfour mulai terealisasi 30 tahun setelahnya. Inggris menyerahkan tanggung jawab atas Palestina kepada PBB pada tahun 1947. Rencana tersebut menghasilkan keputusan untuk memberikan sebagian teritori Palestina kepada kaum Zionis. Wilayah suci di Palestina akhirnya dibagi menjadi tiga, yakni Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Golan. Israel akhirnya memproklamirkan kemerdekaannya setahun kemudian, yakni pada 14 Mei 1948. Kemerdekaan Israel kemudian memicu pertentangan oleh negara-negara Arab lainnya, yang kemudian berujung pada tekanan dan serangan yang diberikan oleh Mesir, Syria, Yordania, serta tentara Irak dan Lebanon.[3] Serangan yang diberikan oleh negara-negara Arab ini gagal, malah membuat negara-negara Arab tersebut terpecah belah, seperti Transyordania—yang  menjadi Kerajaan Hasyim Yordania—pada akhirnya mendukung adanya pemisahan wilayah Palestina dan memberikan sebagian wilayah tersebut bagi Israel.
Pembentukan Israel tidak hanya menimbulkan konflik antara Israel dengan Palestina, namun konflik ini pada akhirnya mengalami overlapping dari aktor-aktor yang terlibat. Adanya gencatan senjata pada tahun 1949 yang ditandatangani oleh Israel dan negara-negara Arab yang menentangnya tidak lantas membuat perselisihan mereda. Negara-negara Arab memboikot perusahaan yang menjalin perdagangan dengan Israel dan Mesir melarang kapal-kapal Israel untuk berlabuh di Terusan Suez (Smith, 2014). Berdirinya Israel disokong oleh negara-negara Barat yang memiliki berbagai kepentingan di kawasan Timur Tengah. Hal ini memicu konflik-konflik di Timur Tengah dari Krisis Teluk Suez, hingga rivalitas negara-negara Arab yang masih berlangsung hingga saat ini.
Permusuhan antara negara-negara Arab dengan Israel pada akhirnya berdampak pada munculnya konflik baru yang disebabkan oleh kepentingan aktor-aktor di balik kisruhnya kawasan Timur Tengah. Krisis Teluk Suez pada tahun 1956 diawali dengan kedongkolan Amerika Serikat terhadap Mesir yang memilih untuk berlaku netral di tengah tingginya intensitas Perang Dingin. Amerika Serikat menginginkan Mesir untuk menjadi penggerak negara-negara Arab lainnya untuk condong ke blok Barat[4], namun Mesir di bawah kepemimpinan Gamal Abdul Nasser malah mendeklarasikan netralitasnya lewat pendirian Gerakan Non-Blok atau Non-Aligned Movement. Di tengah-tengah adanya sentimen tersebut, Mesir juga mengalami konfrontasi militer dengan Israel. Konflik antara Israel dan Mesir ini pada akhirnya juga berimbas pada penyerangan Gaza oleh Israel. Serangan ini memakan cukup banyak korban, termasuk orang-orang Mesir.
Tak berhenti di situ, rivalitas Mesir dengan Israel memuncak di tahun 1967. Perang 1967 ini diawali oleh konfrontasi antara Syria dan Israel, yang kemudian melibatkan Mesir dan Yordania ke dalam kemelut konflik perebutan teritorial tersebut. Dengan terlibatnya Yordania dan Syria ke dalam perang tersebut, Israel berhasil menaklukkan wilayah Golan, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Semenanjung Sinai. Israel juga menguasai Yerusalem dan mencanangkan bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel. Hal ini menyebabkan dua hal utama: warga Palestina dan Yordania yang ada di Jalur Gaza dan Tepi Barat berada di bawah kekuasaan Israel; dan penaklukan wilayah Yerusalem yang di dalamnya terdapat banyak tempat suci yang bersejarah bagi umat Islam. Di tengah peliknya konflik perebutan teritori ini, ideologi dan identitas memainkan peranan pentingnya. Israel bertujuan untuk membentuk sebuah negara yang dihuni oleh penduduk Yahudi asli di tengah-tengah wilayah Arab. Identitas ini akan luruh apabila Israel mengakuisisi daerah yang memiliki banyak populasi Arab dan beragama selain Yahudi, seperti wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat. Konflik antara negara-negara Arab dan Israel masih tetap berlanjut hingga adanya Perang Yom Kippur dan berhasil diturunkan eskalasinya melalui Camp David Accords pada tahun 1979.[5]
Setelah perseteruan antara negara-negara Arab ini usai, kini muncullah pergolakan dari masyarakat Palestina atau yang disebut dengan intifadha. Intifadha pertama muncul pada tahun 1987 dan berlangsung hingga tahun 1991. Pemberontakan ini akhirnya dapat diredam melalui mediasi yang dilangsungkan pada Perjanjian Oslo pada tahun 1993. Pada perjanjian tersebut, Israel mengakui Palestine Liberation Organization sebagai representasi dari Palestina dan keduanya sepakat untuk segera mendirikan Palestinian Authority (PA) yang bertugas untuk melaksanakan kewajiban dan tugas pemerintahan di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza selama lima tahun.[6] Setelah itu, permasalahan tentang batas teritorial kedua negara hingga Yerusalem akan dibicarakan.
Perjanjian Oslo II pada tahun 1995 menyetujui kesepakatan tentang penyerahan wilayah yang lebih luas kepada Israel dan peningkatan otoritas Palestina terhadap bidang politik dan keamanan. Perjanjian Oslo II ini merupakan sebuah titik terang bagi konflik Israel-Palestina. Namun, implementasi perjanjian ini kemudian gagal akibat kematian Rabin dan naiknya Binyamin Netanyahu. Dengan berkuasanya Netanyahu, tujuan dari Perjanjian Oslo kemudian digagalkan dan intensitas konflik kemudian kembali meningkat. Intifadha kedua akhirnya kembali terjadi pada September 2000.

Kesimpulan
Konflik antara Israel dan Palestina masih berlangsung hingga sekarang. Identitas dan ideologi merupakan dua dari berbagai faktor-faktor penting yang bermain dalam rumitnya konfik ini. Perjanjian Oslo merupakan resolusi yang paling sukses sepanjang sejarah konflik Israel dan Palestina. Perjanjian Oslo berhasil menurunkan tensi antara kedua negara dan berhasil membuat kedua negara akhirnya mengakui satu sama lain. Gagalnya resolusi konflik antara kedua negara adalah karena adanya ideologi sayap kanan di kedua belah pihak.

Bibliography

Smith, C. (2014). The Arab-Israeli Conflict. In F. Halliday, International Relations of Middle East (pp. 283-308). Cambridge: Cambridge University Press.

 Britannica. (2020). Balfour Declaration. Diakses dari https://www.britannica.com/event/Balfour-Declaration
cfr.org. (2020). Israeli-Palestinian Conflict. Diakses dari https://www.cfr.org/interactive/global-conflict-tracker/conflict/israeli-palestinian-conflict pada 26 Februari 2020





[1] Britannica. (2020). Balfour Declaration. Diakses dari https://www.britannica.com/event/Balfour-Declaration

[2] ibid
[3]

Smith, C. (2014). The Arab-Israeli Conflict. In F. Halliday, International Relations of Middle East (pp. 283-308). Cambridge: Cambridge University Press.

[4] ibid
[5] cfr.org. (2020). Israeli-Palestinian Conflict. Diakses dari https://www.cfr.org/interactive/global-conflict-tracker/conflict/israeli-palestinian-conflict pada 26 Februari 2020
[6] ibid

Share with your friends

Add your opinion
Disqus comments
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done