✅Kemajemukan Identitas dan Sistem Politik di Timur Tengah - Seribu Ilmu
News Update
Loading...

Monday, March 16, 2020

Kemajemukan Identitas dan Sistem Politik di Timur Tengah


Kemajemukan Identitas dan Sistem Politik di Timur Tengah
Annisa Nur Islamiyah

Identitas merupakan cara untuk mendefinisikan diri sendiri untuk dapat dikenal oleh orang lain, begitu pula dengan negara, memiliki identitas sebagai tanda pengenal bahkan sebagai harga diri. Identitas memiliki beberapa ukuran objektif yakni meliputi ras, etnis, jenis kelamin, politik, agama, orientasi seksual, dan yang lainnya. Identitas juga dapat menentukan bagaimana seharusnya kita sebagai seorang individu dapat berperilaku didalam sebuah masyarakat yang majemuk, dapat mengidentifikasi diri kita sendiri. Hal tersebut tentunya juga berlaku bagi sebuah negara yang notabene nya adalah aktor utama didalam hubungan Internasional, negara memiliki identitas juga agar dapat mengidentifikasi dirinya sendiri, dapat mengerti harus berperilaku seperti apa di dunia internasional, dan jika melihat dengan kacamata realisme, identitas ini juga penting bagi sebuah negara untuk dapat menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Identitas yang sangat kental di Timur Tengah adalah identitas Agama, hal tersebut dikarenakan memang hampir semua negara-negara Timur Tengah masyarakatnya adalah Muslim. Dan tentunya, identitas ini sangat berhubungan dengan sistem politik yang diadopsi oleh Kawasan Timur Tengah.
Keberadaan Timur Tengah mencakup tujuh belas negara Arab dan ditambah dengan wilayah Palestina dan juga negara-negara non-Arab di Iran, Israel, Turki, dan juga Sirpus.[1] Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Timur Tengah sangat terkenal dengan konfliknya. Konflik yang terjadi di Timur Tengah bukan tentang kekayaan sumber daya alam, atau bahkan konflik karena adanya perbedaan identitas agama seperti di negara-negara pada umumnya. Namun, konflik yang terjadi di Timur Tengah bisa saja terjadi karena adanya faktor eksternal yang mempengaruhi. Didalam sistem negara-bangsa, Kawasan Timur Tengah juga terkena dampak dari adanya kekuatan eksternal dari negara Barat, bahkan peran negara Barat di Timur Tengah hampir seperti musuh yang tidak pernah berdamai.
Negara Barat mulai mempengaruhi Timur Tengah semenjak jatuhnya kekaisaran Ottoman, yang mengakibatkan negara-negara di Kawasan Timur Tengah tidak memiliki petunjuk tentang bagaimana mana mereka harus bertindak dalam memerintah negara, dan juga negara-negara Kawasan Timur Tengah ini kebingungan dalam bagaimana mereka harus mengolah pemerintahan secara sistematis. Dalam perjanjian Konstantinopel antara Rusia, Prancis, dan juga Inggris pada Maret 1951[2] terdapat bukti bahwa mulai saat itu kekuatan Barat mulai masuk di Timur Tengah. Kesepakatan kedua membahas mengenai kesepakatan untuk pembagian Timur Tengah terjadi ketika orang-orang Arab memprakasai aksi pemberontakan terhadap kekaisaran Ottoman. Pada saat itu, orang-orang Arab mencoba meminta pertolongan dengan meminta dukungan kepada Inggris, namun tentunya, bantuan yang diberikan oleh Inggris harus dibayar dengan Negara-negara Arab pada waktu itu harus kehilangan beberapa wilayah termasuk Mersin, Adana, Persia Utara, Teluk Persia, dan Samudera Hindia dibawah perjanjian yang kemudian dikenal dengan Pemberontakan Arab. Perjanjian ketiga dimaksudkan untuk membagi wilayah, yang pada waktu itu terjadi ditahun 1916 ketika Inggris, Prancis, dan Rusia telah sepakat untuk bekerja sama membongkat kekaisaran Ottoman di tahun yang sama. Perjanjian tersebut dikenal sebagai perjanjian Sykes-Picot yang menyebabkan adanya pembagian Suriah yang dikuasai oleh Turki, Irak, Lebanon, dan juga Palestina ke berbagai wilayah yang dikelola oleh Prancis dan Inggris.
Setelah terjadinya perang dunia pertama, Timur Tengah dalam keadaan di jajah oleh negara-negara Eropa. Negara-negara Timur Tengah sudah banyak sekali yang dikuasai oleh kekuatan Eropa, negara-negara nya antara lain Iran Suriah, Lebanon, Aljazair, Maroko, Tunisia, dan lain lain. Hingga saat itu, di Timur Tengah selalu mengalami krisis hingga berlanjut setelah Perang Dunia kedua, yang mana pada waktu itu negara Timur Tengah yang notabene masih menjadi negara bekas jajahan mendapatkan dukungan internasional dalam tindakan untuk dapat menentukan nasib mereka sendiri, hal tersebut bertujuan untuk dapat membantu negara-negara Timur Tengah untuk dapat mengatur pemerintahannya sendiri namun juga tidak benar-benar dipastikan dapat terbebas dari adanya konflik.
Kawasan Timur Tengah memiliki karakteristik umum yang mana sebagai kelompok negara yang sebagian besar adalah Muslim, dan negara-negara Arab sangat banyak dihadapkan dengan musuh-musuh baru seperti Israel dan Iran. Hal ini juga ternyata mempengaruhi fokus politik di Timur Tengah yang dibagi menjadi dua yakni politik yang berbasis agama, dan politik identitas atau seperti negara lain pada umumnya. Dalam politik berbasis religion ini menjadikan beberapa konflik seperti konflik Israel-Arab yang juga cukup lama dikenal sebagai salah satu konflik yang didasarkan karena adanya pertentangan agama antara Islam dan juga Yahudi. Orang Arab, yang berada di kubu Palestina terus berusaha menyuarakan suara Palestina untuk mendapatkan askes menjadi negara yang sejahtera, karena memang selama ini Palestina selalu di serang oleh zionis Israel. Hal tersebut semakin memuncak ketika Israel mulai mengklaim Yerusalem yang notabene adalah ibukota Palestina sebagai modal mereka untuk dapat melacak kembali sejarah mereka sebagai Yahudi. Israel juga mengklaim sebagian besar wilayah Palestina, yang menimbulkan tindakan-tindakan agresif terhadap masyarakat muslim dunia seperti Arab.
Selain Iran, sistem politik berbasis agama di Timur Tengah ini juga menimbulkan konflik antara Negara Arab dengan Iran, semenjak selesainya Perang Dingin, negara Timur Tengah sudah mulai menerima ancaman-ancaman yang diberikan oleh Iran. Iran berfokus untuk dapat merusak rezim Arab dan membangkitkan Syiah, bahkan pada waktu itu Iran juga mengelilingi Arab Saudi dengan memutuskan nasib perang saudara Yaman demi kepentingan Iran.[3] Faktanya, semua negara Dewan Kerjasama Teluk termasuk tetapi tidak terbatas pada Arab Saudi & Yordania membenci Iran karena sejarah konflik mereka dan pemahaman yang berbeda tentang bagaimana memandang sebagai seorang Muslim. Selain itu, Arab Saudi bersama dengan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk ingin menggunakan KTT ke 26 untuk konsensus Arab untuk menampung Iran, dan mempersiapkan intervensi militer di Yaman.[4]
Ancaman selanjutnya adalah datang dari Amerika Serikat. Akhir Perang Dingin membuat AS sebagai satu-satunya negara adikuasa pada tingkat tertentu di tingkat global dan dengan sendirinya di kawasan tersebut.[5] Hal tersebut diperparah dengan adanya keadaan Unipolar yang menjadikan Amerika Serikat seperti negara yang paling kuat di dunia dalam hal demokrasi dan ketertiban dunia. Apalagi dengan adanya aksi 9/11 yang membuat semakin banyaknya negara yang mengagungkan Amerika sebagai Polisi Dunia, dan membuat pengaruhnya di dunia internasional sangat amat kuat. Dengan adanya aksi 9/11 ini juga membuat Amerika seperti memiliki kesempatan untuk dapat melakukan intervensi militer di Timur Tengah seperti di Irak dan Afghanistan.
Kemajemukan identitas yang ada di Timur Tengah ternyata juga dapat menyebabkan konflik-konflik di Timur Tengah semakin banyak, terlebih lagi juga dipengaruhi sistem politik mereka yang salah satunya menggunakan basis agama. Yang mana, dengan sistem politik tersebut saja menyebabkan negara-negara Arab mendapatkan 2 musuh sekaligus, hal tersebut yang membuat Timur Tengah sangat banyak konflik hingga dikenal sebagai tanah konflik.
Referensi :
  1. Ahmadov, R. (2005). The U.S. Policy toward Middle East in the Post-Cold War Era . Turkish Journal of International Relations, 138-150.
  2. Fawcett, L. (2016). International Relations of the Middle East. Oxford: Oxford University Press.
  3. Banks, Arthur S. dan Thomas C. Muller, dan William R. Overstreet. 2008. Political Handbook of The Middle East, Washington D. C : CQ Press.




[1] Arthur S. Banks, Thomas C. Muller, William R. Overstreet, 2008, Political Handbook of The Middle East, Washington D. C : CQ Press.
[2] L. Fawcett, 2016, International Relations of the Middle East, Oxford: Oxford University Press.
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] R. Ahmadov, 2005, The U.S. Policy toward Middle East in the Post-Cold War Era, Turkish Journal of International Relations, 138-150.

Share with your friends

Add your opinion
Disqus comments
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done