Seiringnya derasnya globalisasi dikalangan mahasiswa
dimanfaatkan oleh perusahaan cicil sebagai solusi untuk mencicil barang idaman
tanpa kartu kredit dan batas penghasilan, tentunya hal ini membuat banyak
mahasiswa yang tergiur untuk membeli banyak barang yang diingikan dikarenakan
tagihan bulanan yang kecil, namun mereka yang memiliki pemikiran budaya
konsumerisme. Tidak pernah memikirkan untung dan rugi dalam pembelian barang
yang terpenting hasrat keinginan terpenuhi. Padahal kehidupan konsumtif sangat
berbahaya dan tentunya hal itu disadari oleh kalangan mahasiswa namun hal itu
bukan menjadi masalah yang terpenting diera digital dan era globalisasi yang
nampak jelas tentu membuat mahasiswa terus mengejar keinginan dan menunjukan
eksitensinya di media sosial agar dikui sebagai golongan atas.
Pendahuluan
Aplikasi Cicil atau yang sering kita kenal dengan
Cicil Id merupakan sebuah perusahaan teknologi finansial berjiwa sosial.
Tujuannya adalah memberikan akses kemudahan pembiayaan bagi mahasiswa. Karena
lembaga pembiayaan konvensional membutuhkan sejarah kredit atau pendapatan
minimum sebagai syarat pengajuan pinjaman, fasilitas pembiayaan mahasiswa
sangat terbatas.
Menabung berbulan-bulan untuk membeli laptop untuk
tugas kuliah dan skripsi memang sulit. Karena itulah CICIL bertujuan menjadi
solusi masalah seperti ini. Kami menganalisa beragam variabel, termasuk profil
akademis mahasiswa, untuk memberikan fasilitas cicilan ringan kepada mereka.
Dengan fasilitas ini, mahasiswa dapat membeli produk impian mereka.[1]
“We live in a time when most human suffering is the
direct result of the lack of
goods. What most of humanity desperately needs is more
consumption, more
pharmaceuticals, more housing, more transport, more
books, more computers. (Daniel Miller’s : 2001)”
Daniel
Miller’s mengatakan hal ini pada tahun 2001, pada saat itu keadaan sudah sangat
menggambarkan fenomena ini, tentunya dampak ini akan semakin parah di era
digital yang sangat mudah diakses oleh semua orang dan mudahnya belanja online. Tentunya hal ini akan berdampak
kepada lingkungan, ketidak setabilan sosial dan kekayaan yang akan dikuasi oleh
pemilik modal yang besar. Dengan tujuan untuk meningkatakan kekayaan yang
digunakan untuk menunjukan gaya hidup yang glamor. Apalagi dimudahkanya dengan
adanya sistem cicil atau kredit dikalangan mahasiswa tentu hal ini menjadi
solusi bagi mereka yang dapat memanfaatkan untuk kepentingan yang terdesak,
namun akan menjadi dampak negatif bagi mereka yang menggunakan sebagai cara
untuk menunjukan gaya hidup.
Ada
yang berpendapat bahwa kapitalime mempengruhi adanya pola konsumsi manusia.[2]
Karena kita tahu bahwa era saat ini kita tidak terlpas dari sistem kapitalis,
tentunya pola pikik dan gaya cara berkehidupan pun akan terbawa ke era konsumtif.
Menurut Zuly Qodir seorang Sosiolog sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UMY mengatakan “sejak tahun 1990 Indonesia
mulai mengenal kata globalisasi, sejak itulah masa-masa konsumerisme di
Indonesia. Dan konsumerisme sendiri merupakan pembeda kelas sosial yang nyata.”
Saat ini ada sekita jutaan produk luar negri yang di minati seperti H&M, Nike, Addidas, telah menjadi tran dikalangan
para reamaja terutama mahasiswa (i), hal
ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia terutama dalam pertukaran mata
uang.
Konsumerisme
di kelas pekerja adalah masalah moral sepanjang abad ke-20 (Cross, 1993), yang
artinya konsumerisme sudah ada berabad-abad tahun lalu. Bahkan dalam hasil
riset yang dirilis oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menunjukkan
bahwa ternyata masyarakat Indonesia tergolong sebagai tipe masyarakat yang
memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi dalam perilaku konsumtifnya. Hal ini
lah yang mendorong penulis untuk melihat seberapa besarkah pengaruh aplikasi
cicil dikalangan para mahasiswa (i) dalam menjalani hidup yang konsumtif atau
cerdas dalam mengelola keuangan.
Sejarah Konsuerisme
Konsumerisme sudah ada sejak abad ke
20,
Pengertian Konsumerisme
Konsumerisme
merupakan suatu paham yang membuat orang-orang mennggunakan hasil produksi
secara berlebihan, dan berkelanjutan. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) kosumerisme ialah paham atau gaya hidup yang menganggap
barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Gaya
hidup yang tidak hemat,[3].
Hal
ini tidak jauh dari perilaku konsumtif, karena dengan membeli dan menggunakan
barang dengan berlebih dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan untuk beberapa
orang. Perilaku konsumtif menimbulkan dampak konsumerism dikalangan mahasiswa (i) itu sendiri sehingga banyak yang
menggap bahwa gaya dan Fashion merupakan tran yang harus dipikirkan
tanpa harus memikirkan pengeluaran. Ditambah lagi dengan adanya budaya diskon yang
dilakukan oleh pelapak. Hal ini tentu membuat para remaja terutama mahasiswa
yang tinggal jauh atau ngekos dapat memanfaatkan uang jajan sebagai biaya gaya
hidup yang semakin menjamur.
Menurut
Steatns, konsumerisme adalah sebuah penetapan untuk membeli barang yang tidak
dibutuhkan bagi kehidupan individu atau rumah tangga dan menganngap nilai ini
menjadi bagian penting dari penilaian individu dan sosial. (Stearns, 2009).
Yang artinya nilai membeli barang sudah menjadi satu bagian gaya hidup yang
harus dipenuhi untuk menunjukan tingkat sosial individu agar dapat dianggap dan
dihormati, sesuai nilai barang atau jasa yang dibayar.
Pasar Online dan Tran
Perkembangan
pasar online dan pesatnya pembangunan
dan industrialisasi, memiliki andil terhadap perubahan motif perilaku
konsumtif. Hal itu didasari dengan cara pandangan masyarakat mengenai kebahagiaan
dilihat dari seberapa banyak orang sering membeli keinginanya. Padalah
kemunculan took online memeberikan dampak konsumerismi yang tinggi ditambah
dengan adanya kredit dari aplikasi cicil yang semakin mudah di jangkau oleh
mahasiswa. Tentu hal seperti ini membuat mahasiwa (i) lupa akan kebutuhan yang
seharusnya lebih penting ketimbang keinginan yang diperlukan.
Dengan
adanya pasar online mendorong masyarakat untuk terus menggunakan berbagai macam
produk yang dihasilkan mengikuti tren yang ada. Hal ini dilakukan bukan
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi motifnya kemudian
berubah menjadi ajang untuk meningkatkan status sosial, serta memperoleh
pengakuan antara sesama. Biasanya ini dilakukan oleh para remaja, tentu hal ini
akan berdampak kedepanya hingga menginjak kejenjang keluarga dan dapat menurut
ke pada keturunannya, hingga berlanjut terus menerus.
Pasar
online seperti tokopedia telah bekerjasama dengan cicil menambah daftar toko
online yang terpercaya dan mudah untu memenuhi kebutuhan ditambah dengan
fasilitas dari cicil, tentu hal ini akan menambah gairah. Mahasiswa (i) untuk
berbelanja online dengan aplikasi cicil, karena segala sesuatu di cicil dapat
dicicil dengan mudah bahkan sepatu yang lagi naik daun pun dapat dicicil dengan
mudah.
Dampak Perilaku Konsumerime
Dampak
dari konsumerime menimbulkan banyak permasalahan sosial yang dapat mempengaruhi
orang sekitar dengan begitu konsumerisme menimbulkan dampak menjamur. Tentunya
hal ini dapat diatasi dengan pendidikan perilaku berhemat dan penempatan
keuangan yang pas. Banyak dari kita yang tidak sadar akan perlaku konsumerisme,
namun melakukan hal tersebut terus menerus. Perilaku ini muncul dari keinginan
yang kuat untuk memiliki sesuatu namun dalam keseharian seseuatu yang
diinginkan tersebut tidak begitu penting bahkan hanya sia-sia.
Saat
ini muncul tran anak muda yaitu perilaku hype atau dapat diartikan perilaku untuk
membeli barang mewah untuk menunjukan tingkat sosial, atau hanya sekedar untuk
bersenga-senang. Perilaku ini tentu tidak murah, perlu menrogoh lebih dalam
keuangan utuk mengikuti tran hype bahkan
ada yang menghabiskan miliaran rupiah dalam sekali beli. Namun di sisi lain
tran ini menberikan dampak positif yaitu munculnya tran loca hype yaitu sebuah tran yang mengangkat produk local sebagai
citra rasa untuk mencintai produk lokal.
Di
sisi lain perilaku konsumerisme menimbulkan dampak yang sangat berbahaya, diantaranya
mendahulukan keinginan dari pada kepentingan sehingga segala cara dilakukan
hingga hutang begitu banyak, hingga tidak dapat membayar hutang. Tidak hanya
itu hal ini dapat mempengaruhi perlaku
sosial, seperti munculnya kebiasaan mencuri atu yang disebut sebagai cleptomania atau dapat dikatakan
sebagai hasrat keinginan yang dalam, sehingga ketika hasrat itu tidak dapat
dipenuhi maka yang terjadi ialah kriminalitas yang tinggi.
Bahkan
seorang istri pejabat dapat mempengaruhi seorang suami untuk korupsi demi dapat
membeli produk, jasa yang diinginkan sehingga tidak jarang para pejabat
tertangkap KPK karena telah menggunakan uang rakyat. Dampak dari konsumerisme,
tentu dapat menular ke orang lain, dikarenakan adanya pengaruh sosial diseitar
lingkungan pergaulannya.
Hubungan Konsumerime dengan IGLO
Konsumereime
akan menimbulkan banyak dampak dari kehidupan mulai dari kehidupan sosial dan
kerusakan alam. Mungkin tidak banyak yang mengerti kenapa konsumerisme dapat
menyebabkan kerusakan alam tapi tanpa kita sadari kita telah merusak alam.
Produk apa saja yang kita beli tentu berawal dari tumbuhan entah itu pohon dan
lain sebgainya dan tentunya setiap barang produksi memicu adanya limbah pabrik,
dan apabila banyaknya permintaan dari masyarakat limbahnya akan semakin banyak
dan alam pun akan tercemari.
Dikutip
dari liputan 6, pada tahun 2018 Indonesia masalah sampah elektronik kian banyak
hingga mencapai 49,8 Juta Ton di tahun 2018 tentunya hal ini disebabkan dari
banyak hal terutama dari sisa elektronik rumah tangga yang tidak terpakai,
konsumsi elektronik setiap tahunnya kian menigkat terutama di benua Asia.
Menurut peneliti dari United Nations University bahwa peningkatan sampah
elektronik di benua Asia mencapai 4-5 % per tahunya. Peningkatan ini tentunya
disebabkan dari produksi dan bekas konsumsi barang elektronik tentunya konsumsi
ini meningkat disebabkan adanya daya beli yang tinggi entah dari keinginan atau
pun rasa ingin memiliki yang tinggi tanpa perlu memikirkan keperluan. Tidak
hanya sampah elektronik sampah lainya minuman botol dan sampah pelastik setiap
kita membeli produk tentu meninggalkan sampah plastic. Sehingga para pendukung lingkungan
hidup tentu akan menentang hidup konsumtif dan perilaku konsumerisme.
Seiringinya
perkembangan zaman tepatnya di era generasi milenial membuat pabrikan
smartphone semakin gencar dalam memproduksi hanphone, hal ini diiringi dari
permintaan pasar yang meningkat, ditambah adanya kemudahan bagi mahasiswa (i)
dalam membeli produk terebut smartphone, tidak jarang kita melihat teman,
sodara dan sekeliling mahasiswa (i) memiliki smartphone baru setiap priode,
tentu hal ini disebabkan oleh trend dan rasa ingin memilikiyang tinggi sehingga
mudah membuat orang-orang untuk membeli smartphone baru walau smartphone lama
masih bisa digunakan.
Apabila hasrat ini tidak dapat
dikontrol yang akan diuntungkan tentu perusahaan dan tentunya ada yang
diuntungkan ada pula yang dirugikan, tidak hanya perusahaan saja yang
diuntungkan tetapi para buruh pekerja yang membutuhkan pekerjaan. Namun dibalik
itu semua kerusakan lingkungan seperti sampah elektronik akan semakin banyak,
di Indonesia sendiri sampah elektronik tidak begitu diperhatikan sehingga yang
akan terjadi kerusakan lingkungan. Tidak jarang kita melihat tumpukan sampah
elektronik yang kian banyak di tempat rongsong membuat kita berfikir untuk
mengurangi sampah elektronik.
Apabila
kita mengurangi sampah elektronik dan sudah hilang perilaku konsumerisme tentu
yang akan dirugikan para pekerja yang banyak di PHK dikarenakan permintaan
pasar yang berkurang sehingga prinsip dari perusahaan yang tidak ingin rugi
akan memberhentikan secara sepihak beberapa buruh bahkan ratusan buruh sekali
pun. Karena dianggap merugikan apabila masih mempertahankan pekerja yang banyak
dan permintaan pasar yang sedikit.
Refrensi :
https://www.cicil.co.id/about-us
Mike Featherstone,
Postmodernisme dan Budaya Konsumen, terjemahan. Misbah Zulfa Elizabeth
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
https://kbbi.web.id/konsumerisme
https://geotimes.co.id/opini/konsumerisme-pergeseran-falsafah-hidup-masyarakat-indonesia/
Stearns, Peter N. 2009.
Handbook of Economics and Ethics (Consumerisme). Massachusetts: Edward Elgar
Publishing, Inc.
https://www.liputan6.com/tekno/read/3174357/sampah-elektronik-membeludak-hingga-498-juta-ton-di-2018
[1] https://www.cicil.co.id/about-us
[2] Mike Featherstone, Postmodernisme
dan Budaya Konsumen, terjemahan. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005).
[3] https://kbbi.web.id/konsumerisme